Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Ingatkan Perlindungan Hak Anak di Peringatan Hari Anak Nasional 2025

Perlindungan anak dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak tersebut meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis.  Bila melanggar ketentuan tersebut, maka kandidat terancam pidana paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

Bawaslu Ingatkan Perlindungan Hak Anak di Peringatan Hari Anak Nasional 2025

PRABUMULIH -23/7/2025

Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen dalam melindungi hak-hak anak di Indonesia. Peringatan HAN 2025 mengusung tema “Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045”, yang mencerminkan harapan membangun generasi unggul demi menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Hari Anak Nasional di Indonesia melalui perjalanan panjang dan dinamis. Peringatan pertama kali dicanangkan dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada 1951, dengan sebutan Pekan Kanak-kanak. Peringatan perdana digelar pada 18 Mei 1952 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Dalam perkembangannya, tanggal peringatan beberapa kali mengalami perubahan. Tahun 1953, Kowani menetapkan 1–3 Juli sebagai peringatan, disesuaikan dengan libur sekolah. Pada 1959, pemerintah menggeser tanggal peringatan menjadi 1–3 Juni untuk menyesuaikan dengan Hari Anak Internasional atas usulan Gerwani.

Pada 1964, peringatan diperpanjang menjadi 1–6 Juni untuk menandai hari lahir Presiden Soekarno. Namun, pada masa pemerintahan Soeharto tahun 1967, tanggal ini dicabut dan kembali menjadi Pekan Kanak-kanak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kemudian menetapkan 18 Agustus sebagai Hari Kanak-kanak, namun menuai kritik karena terlalu dekat dengan Hari Kemerdekaan.

Penetapan di Era Orde Baru

Pada 1971, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0115/1971 tertanggal 17 Juni 1971, pemerintah secara resmi memindahkan peringatan ke tanggal 17 Juni. Keputusan ini menggantikan peringatan pada 18 Agustus dan merujuk pada tanggal Sidang Umum MPRS IV, yang menjadi pijakan berdirinya rezim Orde Baru.

Selama dekade 1970-an, pemerintah Orde Baru juga melarang peringatan Hari Anak Internasional karena dianggap identik dengan PKI. Sebagai gantinya, Indonesia mulai merujuk pada Hari Anak Sedunia setiap 20 November. Pada awal 1980-an, perhatian terhadap Hari Kanak-kanak Nasional kembali meningkat. Perayaan dipusatkan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sejak 1983, dengan pembangunan Istana Anak-Anak Indonesia sebagai lokasi tetap perayaan.

Akhirnya, pada 1984, muncul dorongan baru untuk mengubah tanggal 17 Juni yang dinilai kurang memiliki dasar historis. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, menetapkan 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional karena bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Keputusan ini diperkuat melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984 yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Juli 1984. Sejak itu, 23 Juli resmi diperingati sebagai Hari Anak Nasional hingga saat ini.

Larangan Keterlibatan Anak dalam Politik

Momentum HAN juga menjadi pengingat penting bagi seluruh pihak untuk melindungi anak-anak dari praktik politik praktis. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menegaskan bahwa anak-anak dilarang terlibat dalam kegiatan pemilu maupun pilkada, termasuk kampanye politik. Larangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 280 ayat (2) huruf k, yang melarang pihak manapun melibatkan anak di bawah umur dalam kampanye.

Anak adalah generasi penerus bangsa. Mereka harus berada di ruang yang mendukung tumbuh kembangnya, bukan di arena politik praktis yang sarat kepentingan. Peringatan HAN 2025 menjadi momentum ajakan bersama untuk memperjuangkan hak-hak anak, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun perlindungan hukum. Dengan komitmen semua pihak, cita-cita mewujudkan “Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045” dapat tercapai. [fr]

 

fr